Evakuasi warga saat Merapi meletus Selasa (26/10) lalu, adalah salah satu yang paling rumit. Warga seolah enggan meninggalkan wilayah berbahaya tersebut menjelang letusan. Itu pula yang diyakini membuat korban cukup banyak.
MENGAPA warga begitu lambat untuk turun ke barak pengungsian? Apa sejatinya yang menahan mereka untuk bertahan beberapa kilometer dari puncak Merapi yang sedang murka? Mengapa mereka seolah enggan mengamankan nyawa yang hanya satu-satunya?
Berbagai pertanyaan itu memang mengganjal. Terutama di benak para relawan yang bertugas di lereng Merapi.
Hal itu diungkapkan Gianto Raharjo, koordinator evakuasi kawasan Cangkringan.
Saat status Merapi naik menjadi Awas Merapi pada Selasa dini hari (26/10), tetap tak banyak warga yang mau mengungsi. “Sampai Selasa sore, paling banter 30 persen,” ujar Gianto, Rabu (27/10) lalu, diwawancarai koran ini di Kali Gendol. Itu adalah ground zero yang jaraknya hanya 3 kilometer dari puncak Merapi. Cukup membuat was-was.
Bau belerang masih begitu menyengat. Putihnya abu vulkanis membuat lereng itu seperti berselimut salju. Tidak dingin. Panas.
Sesekali wawancara pun terhenti ketika angin gunung menerbangkan abu vulkanis yang tebalnya mencapai 3-5 sentimeter di beberapa tempat tersebut. Wartawan koran ini beserta orang-orang di sekitar itu memang mengenakan masker dan goggle (kacamata pelindung).
Tapi, semilir abu berbau belerang menyengat itu memang sangat mengganggu.
Gianto berkisah, pengungsi baru mau turun saat Merapi mulai menggeram dan mengeluarkan dentuman pukul 17.20–22.00. “Suaranya kencang sekali. Menakutkan,” kata pria yang sudah tiga hari tidak tidur itu. Wajahnya terlihat lelah meski belum kuyu. Baju SAR yang dipakainya begitu kotor karena abu. Gianto berewokan. Meski tak sampai memutih lantaran abu Merapi, berewok itu tampak “kumal”. Maklum. Dua hari terakhir dia mengaku sudah menghabiskan lusinan masker. Betapa tidak, setiap setengah jam dia harus berganti masker. Sebab, tutup hidung yang tipis itu –biasanya berwarna hijau seperti yang dipakai di rumah sakit– akan tidak berfungsi kalau terlalu banyak tertutup abu. Tidak bisa untuk bernapas.
Gianto menuturkan, saat Merapi mulai “bangun”, warga sendiri mulai minta turun. Meski begitu, tetap saja ada warga yang bandel. Mereka ogah turun. Karena itu, proses evakuasi warga ke barak pengungsian baru benar-benar tuntas kemarin sekitar pukul 03.00.
Kebandelan warga memang begitu dirasakan Gianto. Selasa sore, sesaat setelah Merapi mengeluarkan letusan pertama, dia minta warga Dusun Kalitengah Lor, sekitar 3 kilometer dari puncak di sisi tenggara, mengungsi. Alih-alih menurut, warga tetap ingin melakukan tahlilan karena paginya ada warga yang meninggal.
Keinginan tahlilan itu, dalam kondisi normal, memang dirasa wajar untuk menghormati orang yang meninggal. Tapi, kondisi saat itu tidak normal. Merapi sedang batuk-batuk keras. Gianto, pria kelahiran September 1971 tersebut, juga sudah melihat wedhus gembel mulai merangkak turun. “Kalau luncurannya mengarah langsung ke dusun, apa tidak selesai semuanya?” ungkap bapak dua anak itu.
Gianto kian gemes karena warga bilang mau mengungsi setelah tahlilan rampung. Pria asli lereng Merapi itu tak punya pilihan lain. Dia pun terpaksa menanti dengan hati kebat-kebit. “Kalau satu orang bisa saya seret. Tapi, ini sekitar 50 orang. Kan tak mungkin saya seret semua,” ungkapnya.
Akhirnya, setelah 45 menit, acara tahlilan itu pun usai sudah. Warga menepati janjinya untuk mau diajak ke kamp pengungsian. Boleh dibilang, 45 menit itu adalah salah satu saat paling mencekam bagi Gianto plus rekan-rekan dan saudaranya.
Kala itu sinyal telepon lenyap. HT Gianto pun tak bisa dihubungi karena kehabisan baterai. Oleh rekan-rekannya, Gianto sudah dicatat sebagai seorang “calon korban”.
Menurut Gianto, banyak hal yang membuat warga nekat bertahan di ambang maut. Yang pertama, mereka merasa aman. Sebab, warga sudah mengenal gunung itu bertahun-tahun.
Mereka sudah tinggal di lerengnya sekian lama. Warga juga bertahan di gunung tersebut karena tokoh panutan mereka belum menampakkan tanda-tanda bakal mengungsi. Misalnya, Mbah Marijan, juru kunci resmi Merapi dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tetap bertahan di rumahnya hingga saat-saat terakhir. Ada juga Mbah Ponimin yang dituakan oleh warga kawasan Kaliadem.
Setelah letusan kemarin, sudah ada warga yang naik lagi ke desanya. Mereka membawa rumput segar bagi ternak yang masih hidup. ”Makan rumput biasa, bisa mati. Mambu lirang (Bau belerang, Red),” kata Ngatimin, warga Dusun Kalitengah yang kemarin mengungsi di barak Glagah Harjo. Kemarin Ngatimin bolak-balik tiga kali menyabit rumput “bebas bahan vulkanis” untuk sapinya yang masih ada di kandang.
Tapi, tak semua kisah evakuasi berakhir menyedihkan. Salah satunya adalah kisah selamatnya Mbah Ponimin, tokoh di Kelurahan Kepuh Harjo. Sebenarnya, Ponimin beserta dua anak, seorang menantu, dan dua cucunya sudah siap mengungsi. Namun, merasa tak sempat menyelamatkan diri, Ponimin lang sung masuk ke bungker. ”Mbah Ponimin memang mempunyai sebuah bungker di halaman belakang rumahnya,” terang Widadi, anggota tim SAR yang terlibat langsung dalam evakuasi Mbah Ponimin.
Perhitungan Ponimin tepat. Begitu awan panas menghajar Kinahrejo, dusun tempat Mbah Marijan, dia mengungsikan keluarganya ke bungker. Sebab, gelombang awan panas Merapi yang tercipta dari ledakan kedua ”menyerempet” dusunnya. Setelah menanti sekitar satu setengah jam, barulah Ponimin memberanikan diri keluar.
Ponimin sekeluarga kemudian bergegas ke mobil mereka. Tapi, mereka tak bisa mengungsi. Penyebabnya bukan hanya tumpukan abu vulkanis setebal 10 cm yang masih hangat mengelilingi mereka. Ban mobil mereka pun telah leleh karena terserempet awan panas. “Hanya nyerempet.
Sebab, pasti hancur mobilnya bila terkena langsung,” tuturnya. Akhirnya, Ponimin kembali ke rumah dan langsung mengontak Widadi untuk minta pertolongan.
Namun, tim SAR pun tak berani langsung mengevakuasi mereka. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah tetap berkomunikasi dengan Ponimin sepanjang malam itu. Menurut Widadi, kakek 65 tahunan tersebut sudah pasrah dan terus minta tolong. “Katanya, hawa di sekitar rumah sangat panas. Letusan pun terus-menerus terdengar,” papar dia.
Akhirnya, setelah frekuensi dentuman agak mereda, tim SAR mulai berani memasuki kawasan Kaliadem untuk mencari Mbah Ponimin sekeluarga. Sekitar pukul 02.00,
Ponimin sekeluarga bisa diselamatkan dan segera dibawa ke rumah sakit untuk dirawat.
Kaki Ponimin melepuh. Istrinya juga mengalami luka bakar. Tapi, nyawa mereka tidak jadi hilang.
referensi : http://www.jambi-independent.co.id/jio/index.php?option=com_content&view=article&id=10956:soal-kerumitan-evakuasi-warga-lereng-gunung-merapi&catid=25:nasional&Itemid=29